Hamil, Moody, dan Super Sensitif

Hamil, Moody, dan Super Sensitif

***apakah hamil itu, lantas ga boleh kemana mana?
saya memang hamil. tapi tidak pernah merepotkan siapapun. Salahkah saya, yang cuma ingin bergembira saat hamil?
mengapa orang orang begitu berlebihan dengan kehamilan. seolah olah kehamilan adalah momok. Enggak boleh ini, enggak boleh itu.
kenapa para ibu hamil tidak boleh melakukan apa yang membuatnya senang? Bukankah psikologi ibu berdampak pada janin?
Lantas kalau apa apa dilarang, seperti apa rasanya?
Apalagi, jika yang dilakukan, sama sekali tidak membahayakan. Bukan kompetensi tinju, bukan olahraga ekstrim, bukan minum miras, cuma jalan jalan, piknik. Apakah lantas itu menjadi masalah besar?
Apakah ibu hamil tidak boleh naik pesawat? Itu hal terbodoh yang pernah saya dengar***

Tulisan ini saya buat di notes handphone sambil nangis. Saya merasa sangat jengkel karena rasanya kok enggak adil banget. Hanya karena hamil terus saya enggak boleh liputan keluar kota. Semacam seperti didiskriminasi. Karena waktu itu kondisi tubuh saya sedang sangat fit, saya juga enggak bermasalah. Kehamilan sehat, sudah enam bulan dan liputan luar kota yang dimaksud itu cuma di kota yang jaraknya hanya satu jam perjalanan. Plus, saya juga sudah diberi kelonggaran oleh kantor, kalau beberapa event besar sudah ada wartawan lain yang menghandle. Tugas saya, cuma ikut acara seminar thok. Tapi pihak penyelenggara yang melihat saya hamil, langsung tanpa toleransi apapun menolak saya. Bahkan sampai meminta kantor dan pihak redaksi untuk menggantikan saya dengan wartawan lain. Dan apa yang terjadi? Kantor mengubah keputusan, yang semula saya berangkat, mendadak diganti yang lain.

Saya sedih, marah, kecewa luar biasa. Saya nangis seharian, dari sore, malam, sampai paginya bangun tidur pun saya masih nangis. Saya mencoba positif thinking, shalat, wudlu, sampai self hipnosis dengan metode di buku The Conny Methode, tapi belum berhasil.
Suami saya makin bikin jengkel. Bukannya menenangkan, malah nanya terus "Kamu kenapa? kamu kenapa?"

Saya jelaskan saya kecewa blablabla diskriminasi blablabla, sebel blablabla dia cuma diam saja, terus saya ditinggal tidur! Saya nangis makin kenceng dan suami saya bangun dari tidurnya. Dia juga sepertinya bingung menghadapi saya. Dia nanya lagi "Kamu ini sebenarnya kenapa? Nangis kok nggak berhenti berhenti dari tadi?"

Saya tidak tahan dan meledak. Saya masih ingat saya sambil nangis sesenggukan bilang begini sama suami "Kamu ini gimana sih, nanya terus kenapa. Wong udah dijelasin masalahnya daritadi, masih nggak ngerti? Sana lah! Tidur lagi!"

Suami : "Lha kamu nggak berhenti-berhenti nangisnya, lha trus aku harus gimana? Huh."

Saya terkesiap. Terus sadar, oh iya. Suami saya kan bukan tipe pria yang peka.

Masih sambil nangis, saya bilang "Kamu kan udah pernah ku kasih tahu. Semenjak hamil emosiku nggak stabil. Aku cengeng gampang nangis, gampang gembira, aku sensitif. Kamu harusnya kalau lihat aku kayak gini ini kamu duduk di sebelahku, aku dipeluk, di elus-elus kepalanya, ditepuk bahunya, dirangkul, bukannya malah ditinggal tidur! Yaudah sana kalau mau tidur lagi. Aku juga bisa ngelus-ngelus rambutku sendiri!"

Suami saya baru deh nyadar (heu... boys will be boys). Akhirnya saya dirangkul, dielus-elus punggungnya dan dia menyuapi saya makan. Tangis saya mereda dan saya mulai bisa tidur, meski dengan nafas patah-patah sesenggukan.

Hal yang saya bisa ambil dari kejadian ini adalah.... Ternyata enggak semua pria itu bisa memahami perasaan perempuan. Contohnya ya kayak suami saya ini. Dia itu sering bingung sama kelakuan saya.

Lha saya pinginnya diperhatikan, dia malah megangin handphone sambil tidur. Akhirnya, solusi yang saya ciptakan sekarang, saya selalu ngomong apapun yang saya rasakan, ketimbang menunggu suami mengerti perasaan saya. Dan itu lumayan efektif, daripada saya ngediemin suami, biasanya dia tambah bingung malah nanya-nyanya "Kamu kenapa? ada apa? Kok beda?"

Pertanyaan yang makin bikin sebel. Kalau suami didiemin, dia tambah nggak ngerti. Malah parahnya, bisa balik marah dan jengkel sama saya karena kelakuan saya dianggap aneh. Pokoknya kalau ada hal hal yang menyebalkan, saya selalu berusaha untuk ngomong. Meskipun suami juga sering ndableg, cuek dan bandel. Saya berusaha lebih cuek, ndableg dan bandel lagi untuk ngomong ke dia. Hehehe.

Saya jadi belajar, mengkomunikasikan uneg-uneg itu sangat perlu. Ya enggak sampai ekstrim kayak saya sambil nangis-nangis sih. Biasanya paling enak itu ngomongnya pas santai, sambil ngeteh apa jalan-jalan.. Meskipun awalnya agak ribet dan susah bagi beberapa perempuan yang lebih suka diem, model komunikasi seperti ini sebenarnya lumayan efektif juga buat saya, hehehe... Enggak tahu deh buat pembaca blog, atau yang lagi blog walking dan nyasar ke sini hihi.


Salam kenal,
Gesti


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita-ceritanya Bumil (Lagi)

Ini Tantangan Mamah Muda Setelah Melahirkan

Orgasme Saat Melahirkan, Emang Bisa?