Aku Bisa Apa?


Banyak hal yang bisa membuatmu, membuatku, membuat kita bertanya tanya "Aku bisa apa?"
Saking banyaknya, itu mungkin adalah pertanyaan ketika kepasrahan dan penerimaan yang sudah terlalu dalam. Sudah terlalu toleran. Makanya, aku bisa apa?

Suatu pagi, seorang pria yang sangat baik hati memberimu janji. Tapi, tanpa diketahui olehmu, ia ternyata memiliki kepentingan lain hingga janji itu terlupakan. Bahkan, kepentingan itupun, sama sekali tidak kau tahu.

Mungkin kalau pria itu adalah pria yang baru kau kenal kemarin, atau pria tetangga biasa yang tak pernah ada di dekatmu, hal ini menjadi biasa. Namun ketika ia adalah seseorang yang jelas jelas sangat dekat, maka hal yang terlampau biasa ini kemudian memunculkan kalimat "Aku bisa apa?"

Perasaan ini bukan perasaan perempuan yang desperate dan sangat menyerah lalu putus asa. Tapi apa yang aku rasakan adalah sebuah penerimaan yang sebegitu luas. Penerimaan, atas segala hal yang tidak sesuai seperti keinginan.
Mungkin inilah yang dibilang rasa ikhlas itu.

Aku merasa perlu mendokumentasikannya dalam tulisan, karena sebuah penerimaan yang kualami ini, sedang kurasakan. Ya, detik ini. Rasa menerima itu meluas, mendinginkan hati yang dua hari ini entah mengapa terus menerus meradang. Sebuah penerimaan ini aku rasakan setelah aku kembali memikirkan, sesuatu yang benar benar kuinginkan.
Ketika hal yang kuinginkan, aku usahakan semaksimal mungkin, seporet poret, ternyata realitas berkata lain.

Aku marah, sedih, kecewa. Semuanya terasa begitu sunyi, senyap dan tidak adil. Semuanya begitu membuatku muak dan ingin muntah. Rasa kecewa dan marah itu menghantui selama dua kali 24 jam dan membuatku menangis saking muaknya. Lalu kemudian aku berpikir, aku harus berbagi.

Berbagi ternyata bisa memberikan pandangan berbeda, masukan yang lebih variatif dan menohok. Aku kemudian tersadar. Bahwa banyak yang lebih penting ketimbang.satu keinginan besar yang tidak realistis.


Cinta, membuai apapun di muka bumi. Termasuk kecintaanku dengan sebuah rumah yang rencananya ingin kubeli.
Aku kemudian berpikir ulang.
Mungkin betul, aku belum membutuhkan rumah  sebesar itu. mungkin betul.
Mungkin belum saatnya. Mungkin...
semua orag pingin pensiun jufa huahahahah.

Aku mencoba mengkorelasikan bermacam aspek penerimaan.

(setelah nulis beginian, aku tertidur dan paginya lupa. penasaran, aku buka lafi tulisan ini terus ketawa. oohh jadi ini yang ada di otakku kemarin? wkwkwk)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita-ceritanya Bumil (Lagi)

Ini Tantangan Mamah Muda Setelah Melahirkan

Orgasme Saat Melahirkan, Emang Bisa?