Serba-Serbi Liputan Kuliner : Berburu Mi Aceh
Saya orang Purworejo, tinggal di Purwokerto dan belum pernah ke Aceh. Hari ini saya keliling cari berita kuliner dan ketemu kedai masakan Aceh anyar di Purwokerto. Ini berati kedai masakan Aceh kedua yang saya cicip. Nanti saya cerita deh. Tapi sebelumnya saya pingin curhat. Hihihi.
Selain mencari berita ekonomi dan bisnis, saya juga keliling tempat makan buat mencari berita kuliner. Tiap habis liputan kuliner, biasanya saya terus langsung posting ke fesbuk apa instagram gitu, bikin orang-orang yang liat pada sirik dan ngiler. Hehehe.
Memang kelihatannya enak banget ya, keliling tempat makan terus makan-makan gratis. Eits, enggak semuanya gratis lho. Saya pernah liputan kuliner terus mbayar menu yang saya liput. Terpaksa, karena penasaran dan nggak disuruh ngicipin. Rasanya dosa kalo saya nulis deskripsi rasanya ngarang (padahal kadang-kadang juga ngarang sih, hehe).
Pernah juga cuma dikasih file foto tanpa disuruh ngicipin. Jangan dikira semua pemiliknya ramah-ramah karena mau diliput media. Yang cerewet buingitt juga banyak. Misalnya waktu saya lagi wawancara sambil nulis data, narasumber melirik-lirik catatan data saya sambil komentar dengan nada memerintah gitu. "Itu nanti jangan ditulis gitu mbak, ditulis yang bagus. Bilang makanan lezat, bumbu rempah tradisional, blablabla." Hadeeeuhh.
Pernah juga ada yang dengan enteng bilang (dengan nada memerintah) : "Mbak, nanti sebelum ditayangin saya lihat dulu ya. Saya bener-benerin. Takutnya ada yang salah. Kirim ke saya dulu."
Buset, batin saya. Emang ente editor, redaktur? Fyuh. Kalau sudah gitu saya menghela nafas dan menjelaskan dengan hati-hati lagi.
Yang lebih unik lagi, saya pernah disuruh motret banner foto makanan. Banner! B-A-N-N-E-R! Poster juga, foto makanan di daftar menu juga. Katanya gini sambil nunjuk banner, backdrop, dan daftar menu : "Ini udah ada fotonya di sini mbak, mbaknya bisa motret ini kan." Saya dulu rasanya marah dan merasa nggak dihargai jadi tukang foto (halah!). Mosok liputan kuliner fotonya motret banner? Hiks. Tapi dari situ saya belajar sabar dan mencoba berkomunikasi lebih baik lagi dengan narasumber. Saya jelaskan baik-baik, kalau demikian nanti resiko fotonya pecah, hasilnya kurang maksimal blablabla. Lebih baik saya minta file aslinya, kalau memang enggak ada ya saya beli menu yang mau diliput nggakpapa, daripada motret banner (sambil menghela nafas).
Kalau soal nungguin narasumber berjam-jam sih, udah biasa. Nunggu sampai dua jam, tiga jam, eksekusi liputan cuma lima sampai 10 menit. Nanti pas mau foto owner, ada yang dandan dulu, ganti baju dulu, mandi dulu. Hehehe. Luar biasa unik memang karakter orang-orang itu. Alhamdulillah, dengan kondisi hamil yang mood plus emosinya sering naik turun, saya masih bisa mengatasi diri.
Paling kalo kesel banget istighfar sambil usap-usap perut terus bisik-bisik ke bayi saya. "Psst, sabar nak. Tenang, habis ini, sebentar lagi, kita makan lebih enak, dan enggak makan di sini kok."
Tapi nggak semua narasumber begitu, ada juga yang baik dan pengertian. Ada juga yang begitu datang, saya langsung disuruh makan dua sampai tiga menu sampai saya nggak habis kekenyangan. Malah ada juga, yang bungkusin buat orang kantor, suami, atau mertua. Makanya tiap saya datang ke kantor bawa bungkusan plastik, pasti langsung pada melotot. "Itu makanan apa Ges?" Kalau ketahuan makanan, langsung habis dalam lima menit. Pokoknya banyak hal-hal nyeleneh kalo liputan kuliner. Besok lagi deh ceritanya, nanti malah akhirnya nyampah nggak berhenti-henti. Hehehe.
Hari ini saya keliling lima tempat makan. Empat diantaranya enggak bisa diliput karena owner lagi pergi dan karyawannya takut salah ngomong. Saya ke tempat kelima, itu kedai masakan aceh. Batin saya, kalo yang ini enggak mau diliput ya udah deh, pulang aja. Pas mau ke TKP, ternyata jalannya ditutup karena ada upacara. Alhasil saya parkir agak jauh dari tempat makan itu, terus naik becak (niat banget ya?).
Tempat makan ini bernama Keude Mi Aceh Bang Putra. Lokasinya di Jalan Masjid nomer 43, depan Sae Niki. Kalau dari alun-alun Purwokerto sekitar 100 meter ke utara. Baru buka dua hari yang lalu. Pemiliknya, Putra adalah orang asli Aceh yang udah lama tinggal di Purwokerto, delapan tahun katanya. Ia menikah sama orang Purwokerto, terus buka Kedai Mi Aceh. Katanya lagi, bumbu-bumbu aslinya juga dia datengin langsung dari Aceh biar rasanya tetep asli gitu. Saya disuruh nyobain Mi Kepiting. Bayi saya di perut kayaknya ikut antusias, dia nendang-nendang waktu Mi Kepiting lagi dimasak.
Mi Kepiting di Keude Mi Aceh Bang Putra. Harganya Rp 24 ribu satu porsi. |
Waktu liat penampakannya, wahh. Mantap. Kepitingnya satu, utuh dengan cangkang yang masih menempel. Belum dicicipin aja saya udah ngiler. Hehehe. Pas dimakan sih, enak. Rempahnya kerasa banget, kuahnya buket. Karena saya request enggak pedes, jadi rasa rempahnya sangat dominan, gurih dan enggak pedes. Mi juga teksturnya lembut dan enggak terlalu kenyal. Sulurnya besar-besar terus bumbu rempahnya nempel banget gitu sama mi nya. Pas makan kepiting, kress. Cangkangnya enggak keras banget. Pas deh, renyah. Dagingnya lumayan, dan bumbu rempah yang gurih itu ngresep ke daging. Sambil ngunyah mi, nyecep-nyecep kepiting trus srupuuut kuah buket berbumbunya. Selain mi dan kepiting, ada acar, emping dan kacang tanag goreng yang menyelinap. Acarnya cabe rawit ijo utuh sama potongan bawang merah. Kalau kepingin segeran dikit, bisa meres jeruk nipis yang juga disediakan di piring.
Harga Mi Kepiting ini Rp 24 ribu. Menurut saya sih, worthed banget buat hidangan seenak itu. Selain kepiting, ada mi cumi (Rp 15 ribu), udang (Rp 15 ribu) dan daging sapi juga. Kalau yang pingin nasi goreng Aceh apa Kari Kambing, ada juga lho. Keude Mi Aceh Bang Putra buka setiap hari, jam 10.00-22.00 WIB.
Setelah liputan Mi Kepitingnya Bang Putra ini saya jadi keinget dulu pernah juga liputan Mi Kepiting di depan Unsoed. Namanya Kedai Temurui, lokasinya di Jalan HR Bunyamin nomor 673 Purwokerto. Seperti Keude Mi Aceh Bang Putra, kedai ini juga menyediakan hidangan khas Aceh dari Mi Aceh, nasi goreng Aceh, ada juga kopi Aceh. Kalau Putra orang asli Aceh yang lama tinggal di Purwokerto, maka sebaliknya owner Kedai Temurui, Edi adalah orang asli Purwokerto yang lama menetap di Aceh. Ia juga memiliki istri orang Aceh yang sekarang tinggal di Purwokerto.
Sama dengan Keude Bang Putra, Kedai Temurui juga mendatangkan beberapa bumbu rempah yang khusus didatangkan dari Aceh. Misalnya, seperti daun temurui dan cabai kering. Yang menarik, kedua kedai masakan Aceh ini juga bersikukuh enggak pakai MSG alias penyedap masakan buatan.
Mi Kepiting di Kedai Temurui, depan Unsoed. Harganya waktu saya ke sana masih Rp 17 ribu. |
Tapi, namanya beda tangan, tetep beda racikan. Kedua kedai masakan Aceh ini punya karakter sendiri-sendiri. Kalau Kedai Temurui rasanya cenderung lebih pedas. Pedasnya mungkin dari cabai kering dan merica ya. Tapi yang jelas lebih pedes gitu. Rempahnya kerasa juga, cuma lebih dominan ke pedas. Cuma waktu itu saya makan Mi Kepiting goreng, jadi enggak bisa mendeskripsikan kuahnya karena enggak ada kuahnya hehe. Acar yang di Mi Kepiting lebih komplit, ada potongan timun sama wortelnya. Ada empingnya plus potongan jeruk nipis juga buat peresan. Harga Mi Kepiting di Kedai Temurui, Rp 17 ribu. Harga ini waktu saya ke sana tanggal 5 Januari 2015 lalu lho ya. Belum update lagi harganya masih tetep atau udah naik. Memang lebih murah, tapi kepitingnya enggak full, cuma separo dan lumayan keras cangkangnya.Jadi waktu makan itu, saya sempet minta tolong cangkangnya digepuk-gepuk lagi. Tapi dagingnya oke, bumbunya khas. Kebetulan waktu saya liputan, dapet kepiting yang agak jumbo, jadi ya lumayan. Hehehe.
Kedai ini setiap Jumat hingga Rabu ini pukul 10.00-21.00 WIB. Kamis libur, buka lagi hari Jumat siang sekitar pukul 13.00 setelah Jumatan.
Demikian, curhat-curhatan nyampah saya plus info kuliner Mi Aceh di Purwokerto. Minimal kalo belum pernah ke Aceh, boleh lah yaa, ngicipin makanannya dulu. Hehehe.
Komentar
Posting Komentar