Menangis di Depan Anak-anak dan Mereka Memelukku

 Aku memutuskan untuk menangis di depan anak-anak ketika memang udah nggak tahan. Aku gak mau mereka melihatku sebagai ibu yang pura-pura kuat.

Ibu juga manusia, yang bisa menangis karena sedih. Bisa rapuh, bisa sakit, bukan wanita super.

Lalu kenapa aku hari ini menangis?

Aku sedang bekerja, harus mendengarkan rekaman dan mentranskrip rekaman itu jadi tulisan. Gesang gak sabar, ia minta perhatianku dengan berbagai cara.

Aku dipukuli, ditendang, lalu pada suatu momen, pukulannya pas banget di sela-sela tulang rusuk, keras. Rasanya sakit.

Memang gak sesakit kalau ditinju mafia apa preman jalanan, tapi gatau rasanya kok sakit banget.

Sakitnya, karena aku lagi berusaha bekerja, setelah mencuri waktu bagaimana caranya biar bisa memproduksi tulisan lebih rajin lagi.

Tapi di tengah-tengah itu, anak-anak butuh aku. Cebok, makan, rumah yang baru diberesin, dalam waktu satu jam sudah berantakan lagi.

Aku menidurkan mereka di jam sembilan malam dan harus bangun jam 1 pagi untuk menulis, jika ingin mendapatkan waktu berkualitas, menulis tanpa acara 'ibu aku mau ini, ibu aku eek, ibu aku blablabla.'

Lalu malam ini aku menyempatkan waktu saat mereka sedang lengah dan sedang bermain. Kupikir sedikit menulis di sela-sela waktu ini, aku bisa. Iya, kayaknya bisa.

Tapi ternyata tetep enggak.

Baru jadi satu artikel, ruangtamu udah kacau, tisu bertebaran dimana-mana, ada selimut dan jarit dan baju bersih di sofa.

Untuk marah pun, aku udah nggak bisa.

Aku lelah dan aku manusia biasa. Aku menangis.

Maryam dan Aruna memelukku, menyuruh Gesang keluar dari ruang tamu, sebuah kebiasaan 'time out' ketika konflik terjadi di rumah. Aku hanya bisa menangis saja.

Menjadi single mom yang menafkahi tiga anak, mengurus rumah dan anak-anak sendirian, bukan hal yang enteng.

Mungkin aku memang harus menangis sesekali. Ya gakpapa, toh kenyataannya aku gak kuat. 

Ya gakpapa aku dibilang manja dan cengeng, memang kenyataan.

Tapi setelah menangis aku tersadarkan oleh sesuatu. Bahwa anak-anakku ini adalah harta karunku yang harus kujaga.

Gakpapa capek, habis ini istirahat. Rumah berantakannya pikir nanti, kalau mereka sudah tidur.

Tidak perlu menjadi sempurna dalam hidup. Karena aku memang gak sempurna. 

Gak usah maksa rumah rapi, perut kenyang dan anak-anak anteng. Toh, fase ini akan segera berlalu.

Jika memang seperak rupiah itu harus diusahakan dengan begadang dan mengorbankan rumah yang berantakan, pasti suatu saat akan menuai panen pada waktunya.

Gusti Allah Maha Kaya, kita hanya bisa berusaha, ya kan?

Jika anak-anakku membaca tulisanku ini. Kalian adalah hal terbaik dalam hidup ibu. Terimakasih sudah mengajari ibu untuk terus berjuang.

Aruna dan Maryam marah ke gesang, menyuruh anak gundul umur tiga tahun itu minta maaf ke aku dan disambut dengan gelengan kepala.

Tapi belakangan, aku menegur Gesang. Memukul dan menyakiti manusia, itu bukan hal yang baik. Jadi memukul itu tetap tidak boleh dilakukan.

Gesang minta maaf, kami berpelukan. Aku sudah tidak menangis dan sangat lega saat menulis ini.


Purwokerto di Pertengahan Desember 2022, ketika dompet kering tapi Allah kasih rejeki.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita-ceritanya Bumil (Lagi)

Susu Tempe dan Puding Tempe, Dih Emang Enak?

Bingung Puting Makanan Apaan Sih?