Ngidam Nggak Harus Keturutan Kok!
Keinginan aneh saat hamil pasti sering dikaitkan dengan
ngidam. Dan bagi sebagian besar orang, ngidam adalah cara ibu hamil untuk
mendapatkan perhatian lebih dari suami. Bahkan katanya lagi, ngidam itu ya cuma
ada di Indonesia. Ada yang ngidam makan sabun sampai kemana-mana bawa sabun
yang udah di iris iris buat dicemilin, ngidam nyium bau cat, ada yang waktu
hamil suka banget cium-cium bensin sampai hobinya ke pom bensin, dan ngidam
maunya hanya makan nasi padang selama hamil.
Ada juga, yang mendadak jadi benci
banget sama suaminya, ogah deket-deket. Ada lagi, yang pingin perutnya dicium
lumba-lumba, sampai datang ke taman safari biar perutnya bisa dicium
lumba-lumba. Mitos yang beredar, anaknya bisa ngences kalau ngidamnya enggak
keturutan.
Pernah sharing ke grup ibu-ibu di fesbuk, ternyata ada juga
yang ngidam pingin beli rumah seharga Rp 1 M! Hehehe, tapi waktu hamil enggak
dibeli dan anaknya ngences setelah lahir. Ajaibnya, anaknya berhenti ngences
waktu diajak keliling-keliling di komplek perumahan elit yang harganya milyaran
itu.
jeruk nipis, yang selalu ada di kantong waktu hamil muda untuk menghindari bau yang bikin mual. |
Seorang narasumber yang pernah saya wawancara juga pernah
cerita, temennya waktu hamil ngidam pingin es yang adanya cuma di Singapura.
Berhubung waktu hamil enggak boleh pergi pakai pesawat, jadi ya nggak
diturutin. Eeeeh, pas lahir anaknya ngences mulu. Waktu udah agak gede,
diajaklah sang anak itu terbang ke Singapura buat beli es. Tempelin ke mulutnya
dan viola! Sembuh encesnya. Kok bisa ya?
Tapi ada juga, ibu-ibu yang semasa hamil sama sekali enggak
ngidam apapun, malah pas anaknya lahir ngences sampai usia tiga tahunan. Sampai
ia jadi bingung sendiri waktu saudara-saudaranya nanyain “Dulu waktu hamil
ngidam apaan? Sampai ngences gitu.”
Nah... Saya?
Enggak se ekstrim itu sih. Saya nggak tahu, ini ngidam apa
bukan. Cuma sejak awal saya pingin banget megang harpa. Iya, harpa. Alat musik
petik itu lho. Saya kepingin banget megang harpa sejak usia kandungan di
trimester pertama. Saya rajin browsing soal harpa, googling ke sana kemari,
cari pemain harpa yang lokasinya dekat-dekat dengan kota Purwokerto.
Berbulan-bulan nihil gak menghasilkan, malah jadi bahan guyonan di sana-sini.
Sampai akhirnya, saya menemukan kontak manajemen Maya Hasan,
dan saya kirim email ke beliau. Alhamdulillah, responnya sangat baik. Saya
diberi informasi, jika ingin memegang harpa bisa datang langsung ke Jakarta.
Bahkan jika berminat bisa diadakan kelas singkat untuk belajar harpa. Kalau
ingin mendengarkan petikan harpa secara langsung, bisa juga ikut terapi music
for healing dengan Bu Maya Hasan.
Wah, saya senang sekali! Saya akhirnya berencana di tanggal
9 Mei, datang ke Jakarta untuk mengikuti kelas musik harpa singkat. Saya pun
sudah menyiapkan biayanya. Tapi sehari sebelum berangkat, ternyata saya
mengalami flek dan kontraksi, alhasil... Gak jadi berangkat. Lalu tepat tanggal
9 Mei itu, jam 11 malam, suami saya yang sedang tidur tidak bisa dibangunkan!
Ceritanya begini :
Suami saya tidur dan mendengkur seperti biasa (kalau tidur
memang ngorok). Waktu itu saya sengaja bangunin karena mau masukin motor ke
rumah. Kan udah malem, motor belum dimasukin, rumah belum dikunci, dia malah
ngorok tidur di depan kursi. Saya bangunkan berkali-kali tidak bergeming.
Sampai akhirnya saya tarik dan ia jatuh ke lantai, tetap tidak bangun.
Dengkurannya masih tetap ada. Saya akhirnya coba ambil air pakai gayung dan
saya siram air, enggak bangun juga! Saya mulai takut.
Saya bingung, takut, menangis, semua emosi campur aduk jadi
satu. Saat itu saya sendirian di rumah, Maryam yang baru berusia 18 bulan
sedang tidur. Saya lari ke rumah mertua (rumahnya sebelahan hanya disekat),
saya minta mertua agar menemani Maryam di rumah. Sementara menunggu ambulans
datang, saya menunggui suami saya yang masih mendengkur. Tangan dan kakinya
membiru dan sangat dingin, ya Allah.... saya takut sekali.
Dalam mobil ambulans,
hanya ada saya, suami yang tergeletak, dan buah hati kami yang masih di
dalam perut. Saya berteriak di telinganya, berlomba dengan suara sirene
ambulans yang berbunyi. “Pak, sadar pak!!! Pak, sadar!!!” Saya terus memegang
dan menggosok tangannya yang dingin seperti es. Ambulan melaju dengan kecepatan
maksimal, lubang-lubang menganga di jalan pun langsung diterabas. Perut saya
mulas, kencang sekali. Sambil menahan mules dan goncangan mobil ambulans, saya
bilang ke janin saya : “Yang kuat ya anak pintar, yang tabah ya anak tangguh.
Kita pasti bisa melewati semua ini. Bersabarlah nak.”
Mules-mules di perut saya mulai berkurang. Janin saya masih
bergerak, tapi tidak terlalu gelisah. Saya berulangkali menghela nafas,
menenangkan dan menguatkan diri. Sampai detik saya menuliskan ini, saya
merasakan bulu kuduk saya merinding.
Sampai di rumah sakit, saya masuk ke IGD bersama suami,
sementara teman suami menunggu di luar. Suami langsung dipasang berbagai macam
kabel dan selang ini itu, infus, oksigen. Ia tidak juga sadar. Sampai saat
perawat merekam jantungnya, kondisinya makin melemah. Suami saya koma. Iya
koma, padahal baru tadi siang kami ngobrol dan bercanda.
Saya hanya bisa berbisik-bisik di telinga suami saya,
berdoa, istigfar, dan berulangkali bilang “Pak sadar pak, sadar pak. Anakmu
belum lahir!!! Sadar Pak!!!” Cuek dengan pandangan beberapa perawat yang
melihat saya berlaku demikian.
“Maaf bu, kondisi kesadarannya sudah makin menurun. Keluarga
yang lain ada? Barangkali keluarga yang lain bisa dikabari dan bisa ke sini.”
Itu kata perawatnya. Perut saya mules lagi. Janin saya menggeliat
hebat, kepala saya berdenyut. Saya lalu menelepon adik-adiknya suami untuk
memberi kabar kalau suami koma. Saya telepon ke beberapa teman juga. Setelah
telepon, saya kembali bertanya ke perawat.
“Maaf, mbak.. maksudnya... suami... saya.. udah nggak ada harapan?” Saya mendengar suara
saya sendiri tercekat, seperti orang
dicekik.
“Ini sedang kami usahakan semaksimal mungkin bu.” Perawat
itu memandang saya, lalu melihat perut saya yang buncit. Matanya sayu, seperti
tidak memberikan harapan yang cerah. Saya lalu pasrah. Bahkan ketika ada kawan
kantor datang dan sempat menemani di IGD, saya sudah pasrah meski masih
berharap suami bisa kembali bangun.
Pukul setengah 4 dini hari, suami tiba-tiba bersuara,
membuka mata. Saya merasa sangat lega, sekaligus lemas. Seperti semua energi
dan kekuatan saya habis. Begitu suami saya terbangun, saya langsung mengajaknya
ngobrol tanpa henti supaya dia tidak
tidur lagi. Saya takut dia tidur terus jadi bablas.
Sampai sekarang peristiwa koma yang dialami saya, masih jadi
misteri sebabnya. Kata dokter hiperglikemia alias gula darah yang tinggi (suami
ada riwayat diabetes tapi pola makan tidak terkontrol). Kata temen, bisa jadi
itu angin duduk... Entah, saya nggak
tahu pastinya. Yang jelas, saya sangat bersyukur suami kembali sadar dan sehat.
Setelah sakit itu, berat badannya langsung turun 11 kilogram dalam seminggu.
Karena saya galak dan cerewet mengatur pola makannya, hehehe.
Lalu, setelah peristiwa itu, saya sudah enggak mikirin soal
harpa lagi. Masih tetep pingin sih, tapi ya sudahlah. Untuk apa dipaksakan
kalau memang enggak bisa. Mungkin suat saat saya bisa ketemu sama alat musik
yang bernama harpa itu entah kapan.
Waktu hamil pertama, saya pernah kepingin bubur cikini dan
gak kesampaian. Saya makan bubur di mi gang kelinci 3 yang tekstur buburnya
agak mirip. Alhamdulilllah, Maryam enggak ngences tuh. Semoga semua itu hanya
sugesti semata.
Nggakpapa, nggak keturutan pegang harpa... #pukpuk.
Btw, ada yang punya harpa di area Banyumas? Serius nanya
ini. Hehehe. Kalau nggak ada juga nggak papa.. Terakhir di forum ibu-ibu ada
yang kasih info, di Semarang. Tapi setelah peristiwa suami koma itu, mau pergi
jauh-jauh jadi was was. Apalagi udah hamil tua begini. Yasudahlah, main
harpanya diganti main gitar aja. Hehehe.
NB : Anak saya udah lahir. Perempuan. Dan tidak ngences! So, fix ya kalau ngidam gak keturutan itu mitos saja, sesuai pengalaman saya sih :)
Komentar
Posting Komentar