Samudra, dan Bunga Bunga


Seperti halnya Samudra, kamu begitu tenang. Sesekali ombak menggulung ke pesisir, dan menyapu pasir pasir yang menari. Namun seperti halnya namamu yang penuh misteri ; Samudra
, aku pun tidak tahu seberapa dalam hatimu. Apakah ada palung di sana, yang dalamnya tak bisa diukur. Ataukah, ada daratan yang tak bertuan di dalamnya?

Sam yang baik -kalau boleh kupanggil demikian-
Aku tidak memiliki maksud apapun menuliskan ini. Tulisan ini cuma bagian dari usahaku membingkai hal tak penting, namun menarik.
Bahwa menarik, jika kamu begitu bersemangat menceritakan mantan pacarmu. Seolah seperti pernah mendapatkan prestasi dan jejak piala, kisah mantanmu seperti sangat berharga.
Aku mencoba mendengarkannya, dengan hati yang lapang. Aku terus mendengarkannya, meski berulangkali kamu menceritakannya. Aku berusaha, sebagaimana seorang Langit yang bahagia melihat pacarnya dalam suka. meski suka itu, karena sedang menceritakan soal mantan.


Ini kali ketiga kamu bercerita soal mantanmu. Ya, kedua mantanmu yang menjadi satu cerita berbumbu baru. Aku sudah hafal. Jadi begini, kamu waktu itu cuma diajak nongkrong bersama temanmu yang lagi pedekate sama cewek. Kemudian entah bagaimana, cewek itu dan temanmu bertengkar. Cewek yang bernama...ya sebut saja Melati. Ya, Melati itu kemudian bingung. Mau pulang ke kos, tidak bisa karena terlalu larut. Di siru, cuma ada kalian berdua. Setelah ngobrol dan bingung-bingung.. Lalu akhirnya kalian check in ke hotel dan one night stand. (Aku sudah hafal, betul kan?)

Tapi semua tidak lantas berakhir di situ. Kamu betul betul one night stand, karena lupa. Lupa, karena teler dan mabuk. Sementara Melati, ingat dan selalu ingat. Jadi dia menghubungimu duluan, dengan marah marah. Marah karena merasa dilupakan dalam semalam. Akhirnya, kalian sepakat untuk berpacaran. Meski harus dimusuhi dan dibenci banyak orang. (karena dianggap merebut gebetan orang).


Jadi inilah, kisah cinta satu malam yang berlanjut hingga bertahun tahun. Berapa tahun? Empat tahun ya.?

Hal yang menarik adalah ketika kamu bercerita, bahwa kamu mendua. Kamu berpacaran dan kembali dekat dengan mantanmu yang dulu. "Waktu itu, dual sim. seperti dua sim card dalam satu handphone," kamu mengatakannya sambil setengah tertawa.

Aku menerima ini sebagai informasi baru. "Maksudnya? Kamu punya pacar dua?"

"Iya. Waktu itu sebenarnya sudah putus sama mantanku yang lebih dulu, tapi kemudian dekat lagi."

Mantanmu yang lebih dulu lagi, seorang perempuan yang dekat dengan keluargamu. Lebih lama berpacaran denganmu. Lima tahun. Kalian mesti mau tak mau long distance relationship karena mantanmu itu dapat beasiswa di luar kota. Kemudian, lama kelamaan putus kontak. Hingga akhirnya, dapat undangan nikahan.
"Dulu, waktu si Kenanga nikahan, semua budeku, keluargaku itu datang. Aku juga. tapi nggak salaman.. eh tapi, salaman ding! Iya iya, betul. Salaman"

Kamu lalu tersenyum, wajahmu mengguratkan rupa bahagia. Matamu berbinar binar. Kaca spion motor memantulkan tawamu yang menyelinap dalam malam.
Aku ingin tersenyum, tapi rasanya aneh. Berkecamuk tak karuan. Aku ingin juga menangis, tapi buat apa?
Kamu melanjutkan cerita dengan sumringah. Seolah olah, tenggelam dalam euforia kenangan. Entah apa yang membuatmu bisa berhenti membicarakan itu, kalau motor yang kita kendarai tak berhenti di depan rumahmu.

Aku rasanya seperti minder. Baru ketemu, pacaran dua tahun kok dengan pedenya nantang nikah. Sementara mantan-mantanmu yang sudah bertahun tahun itu nggak jadi nikah dengan kamu.

"Mungkin kalau aku enggak kena masalah. Sekarang aku sudah punya anak, dan nggak ketemu kamu."

Kata kata itu biasanya keluar, setelah kamu bercerita soal mantanmu. Atau begini ;

"Mungkin, kalau aku dari dulu bener, kita nggak bakal ketemu. Atau kita ketemu, aku sudah punya anak."

atau yang begini

"Mungkin, kalau aku nurutin mamah, ya aku nggak ketemu kamu."

Lalu baru kemarin kubilang padamu dengan lugas. "Kita adalah jodoh. Kondisi apapun itu, kita pasti ketemu. Karena kamu itu, takdirku."

Bahkan aku nggak tahu, dosa atau tidak berani ngomongin takdir. Tapi aku yakin se yakin yakinnya, kalau aku itu ada, untuk ketemu kamu di dunia ini.
Aku, seorang Langit Pagi. Perempuan yang baru kali ini menemukan keyakinan sebegitu kuatnya, pada seorang pria.

****


"Perempuan itu, punya sisi sentimentil yang sebenarnya enggak penting tapi sering menjadi penting."

"Maksudnya?"

"Maksudku, soal pembicaraan soal mantan."

Aku memilih untuk belajar ngablak. Ngomong blak blakan. Karena aku tahu, sampai kapanpun, kamu nggak bakal mengerti apa yang kurasakan, jika aku diam saja.

"Pembicaraan mantan yang bagaimana?"

"Emm.. gimana ya? Misalnya saat kamu cerita pernah begini dengan mantanmu, pernah ke situ sama dia dan begini blablabla"

"Terus?"
Kamu... masih nggak ngerti juga. Alismu berkerut, kepalamu miring ke kiri.

"Tolong, sesekali berbohonglah padaku. Untuk menjaga perasaanku. Karena menjadi menyebalkan ketika aku bertanya sudah pernah blablabla dan kamu bilang sudah (dengan mantanmu),"

Kamu terdiam, dan meraih tanganku.
"Maaf... Aku nggak tahu.."

"Nah. ini ku kasih tahu."

"Terus, apalagi?"

"Sementara, itu dulu."

Setelah percakapan itu, kamu memelukku. Tapi, belum lama setelahnya. kamu cerita lagi.. Soal mantanmu yang bawel kalau selesai bikin masakan. Kamu menceritakannya, setelah kita selesai menggoreng tempe dan bikin sambal goreng.

****

Memang betul, Sam yang baik.
Kamu sudah menjadi milikku. Bukan milik mereka. Tapi mengulangi cerita sejarah mantan sampai tiga kali. Itu agak sedikit membuatku berkecamuk. Lalu, lebih tepatnya muak.

Jika memang mereka adalah prestasimu, berbanggalah, berbahagialah. Lain kali, aku akan pasang headset saat kamu cerita soal itu lagi. Atau mungkin, aku harus lebih melapangkan hatiku.

Aku pernah ngomong blak blakan, meminta dengan jelas, tapi kamu sepertinya mulai pikun.
******

Begitulah, Samudra Biru. Seperti halnya kamu dan namamu yang penuh misteri, mantan-mantan itu seolah menjadi bunga yang masih mengapung dalam riak gelombang di dalam dirimu. Bunga bunga yang masih menebarkan wangi, hingga sangat perlu diceritakan berulangkali.

Lalu aku, akan bersikap seperti halnya langit pagi yang memantulkan sinar matahari meski sebentar sebentar tertutup awan mendung, dan membuat rinai hujan kecil. Rinai yang akan menghujani lautan bunga bungamu, supaya tenggelam dan hilang! HAHAHA. Namun realitanya tidak. Bunga bunga itu justru tumbuh mekar, dan tumbuh semakin banyak, memunculkan anak bunga-bunga lucu.


Oke, selesai dramanya. *Pasang headset*




Purwokerto, di malam sebelum tidur, dan pagi setelah bangun tidur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita-ceritanya Bumil (Lagi)

Susu Tempe dan Puding Tempe, Dih Emang Enak?

Bingung Puting Makanan Apaan Sih?