Saya, Burik dan Kemasyuran
Hari ini saya duduk di apartemen yang baru sambil memandang
perumahan kumuh. Agak jauh dari atas sini, tapi saya masih bisa melihat jelas
dan hafal betul area itu. Ini karena saya sempat hidup di perumahan kumuh. Tapi keadaan begitu terbalik sekarang.
Saya senyum-senyum sendiri. Beberapa menit yang lalu, seorang tetangga saya di
area kumuh itu mendatangi saya. Tetangga itu bernama Pak Burik. Dengan wajahnya
yang memelas, ia meminta uang dari saya. Untuk apa? Mulanya ia bilang untuk
makan dan bayar sekolah anak-anaknya. Tapi akhirnya ia mengaku.
“Tipi layar datar Boy, istriku itu ribut minta tipi baru
yang flat. Soalnya tipi kami yang lama udah rusak.”
Saya meringis dan geleng-geleng
kepala. Kenangan-kenangan itu mulai berdatangan dalam otak saya. Lalu tanpa
saya sadari, saya rindu kehidupan yang dulu. Tak ada yang mengenal saya, tak
ada cewek yang menggoda saya. Kehidupan yang bebas, tak terikat waktu, atau
siapapun.
Kalau pagi hari tiba, saya selalu punya hiburan tersendiri
dengan percakapan Pak Burik dengan istrinya. Begini, tetangga saya itu bernama
Burik. Istrinya Vivi, tapi lebih dikenal dengan Bu Burik karena pada saat
menikah nama istri menjadi sama seperti nama suaminya. Anaknya yang sulung (saya
ingat nama panjangnya) Alexandria Marshitarini Putri Anjani Rizqi, panggilannya
Kiki. Kala itu ia duduk di kelas lima sekolah dasar. Sedangkan si bungsu,
Roberto Rico Dwi Darmawongso biasa dipanggil Koko, satu sekolah dengan kakaknya
dan duduk di bangku kelas tiga.
Saya sendiri adalah tetangga terdekatnya,
sangat dekat, hingga apapun yang dimasak oleh Bu Burik pasti akan tercium oleh
hidung saya, dan juga apapun yang menjadi pertengkaran di rumah mereka, saya
bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Kami bahkan berbagi kamar mandi, karena
di rumah kontrakan ini tak ada yang memiliki kamar mandi pribadi, semua mandi di
kamar mandi umum. Jarak rumah saya dengan Pak Burik bisa dibilang hanya
beberapa sentimeter saja, sebab yang menghalangi kami hanyalah selembar triplek
dan lemari kayu tempat saya menaruh baju. Kemarin saya dengar sempat terjadi
cekcok di antara mereka berdua, sepertinya masalah sepatu si Koko yang sudah
bolong.
“Jangan keterlaluan kayak gitulah Mas, malu aku liat si Koko
berangkat sekolah sepatunya kayak gitu,
mbok ya dicariin yang baru di tempat Bang Somad.” Itu suara Bu Burik,
saya kenal betul.
Bang Somad adalah pemulung dan penjual sepatu dan
benda-benda bekas. Beberapa hasil dari memulungnya memang ada yang bagus dan
ada yang jelek, tinggal kita jeli saja dalam memilih barang dagangan Bang
Somad. Sudah menjadi rahasia umum jika beberapa barang dagangan Somad adalah
hasil curian. Tapi buat kami sah-sah saja, toh kalau orang-orang kaya itu
kehilangan sepatu mereka, mereka bisa membeli yang baru. Sedangkan kami? Buat
apa repot-repot beli sepatu baru, lebih baik untuk makan dan membeli handphone,
tablet, atau blackberry. Jangan salah, biarpun rumah beratap kardus, handphone
tetap harus blackberry, bisa mati malu kalau sampai tidak punya handphone.
“Lho kan bisa dijahit dulu Bu, katanya mau beli tipi layar
datar?” Pak Burik angkat bicara. Di sela-sela perkataannya, saya rasa dia
sedang mengunyah sesuatu. Ah ya, pasti kripik singkong yang sudah amem itu. Di
kampung kami, makanan yang hampir kadaluwarsa, tetap dikonsumsi. Lumayan, tak
perlu repot ke toko atau beli jajan di warung kalau dapat keripik singkong yang
hampir menjamur, atau mi kadaluwarsa. Makanan kadaluwarsa itu harganya juga lebih
murah. Kata siapa berbahaya, buktinya bertahun-tahun kami makan juga enggak
mati sampai sekarang.
“Lah, dari kemarin janjinya tipi layar datar terus! Mana ada
barang begituan di Bang Somad,” kata Bu Burik. Dari nada bicaranya yang
meninggi, kelihatannya ia kesal.
“Ada Bu, cuma kita harus pesan dulu. Kalo barang elektronik
yang gede-gede gitu ya indent lah Bu, pesen dulu. Kalo beli sepatu sama panci lah
memang tiap hari ada,” kata Pak Burik menenangkan istrinya.
“Oke. Tipi flet, layar datar. Indent gitu pake DP nggak Pak?
Kapan mau pesen?”
“Ya ada lah DP, paling 30 persen dulu Bu, habis berangkat
dines ya sayang.” Setelah itu yang saya dengar hanya kecupan kecil dan suara batuk.
Lalu pintu dibuka, suara langkah kaki pak Burik menjauhi pintu.
Pak Burik dinas di daerah Mangga Dua, Jakarta. Pakaian dinasnya berbeda dengan hari-hari biasa. Warnanya
sudah kusam, berlubang, plus topi lebar dan lusuh. Kadang Pak Burik membawa tongkat,
kadang ia juga memakai gerobak yang didorong si Kasman. Kalau orang biasa ke kantor, atau para PNS
yang berdinas biasanya memakai sepatu yang mulus dan berkilauan, Pak Burik
justru bertelanjang kaki. Memamerkan kakinya yang penuh burik, seperti namanya.
Saya biasanya bertemu dengan
Pak Burik di halte bus Transjakarta yang sepi di siang hari itu. Kalau
saya biasa mulung dan mencari sampah plastik yang bisa dijual ke pengepul
rongsok, Pak Burik memilih duduk dengan khidmat sambil menengadahkan muka, dan
menadah uang. Setelah selesai di halte
biasanya dia ke taman. Satu hal yang saya tahu pasti, meski kami sering bertemu
dan berpapasan di jalan, kami akan
berpura-pura tak mengenal, sama sekali. Meski –lagi-- kami juga bertetangga,
Pak Burik dan keluarganya jarang menyambangi rumah saya. Pulang dines hingga
malam nanti, ia akan menenteng koran dan bungkusan plastik yang berisi recehan.
Biasanya kami pulang dalam waktu yang hampir bersamaan pula.
Titik pertemuan kami berada di tempat Bang Somad. Sebelum pulang ia biasa
membeli sesuatu. Kalau saya lebih suka melihat-lihat barang dagangan baru. Walaupun
tidak pernah bertegur sapa, saya yakin Pak Burik juga memperhatikan saya.
Tapi hari itu berbeda, karena kemarin saya sempat ditemui
dengan produser film, jadi saya pulang lebih malam. Produser atau manajer rumah
produksi entah-apa-namanya itu menawari saya casting. Dia bilang muka saya
sangat menjual karena saking jeleknya. “Besok setelah kamu selesai kerja datang
ke tempat saya ya,” begitu kata si produser sambil mengulungkan kartu namanya
saat kami bertemu di pinggir jalan. Dia tengah membuang sampah ke tempat sampah
yang sedang saya aduk-aduk.
Maka hari itu, saya putuskan untuk tidak memulung, tapi
langsung ke tempat kerja pak produser. Menjadi artis di televisi adalah
cita-cita semua orang di kampung saya
(tak usah sebutkan namanya). Rasanya ingin berteriak girang saking senangnya.
Perut saya pun mulas dan keringat dingin jatuh bercucuran. Berkali-kali saya
berkaca untuk memastikan wajah saya tetap jelek.
Ternyata di sana
orang-orang bertampang hampir mirip seperti saya banyak yang duduk di lobi.
Akan tetapi saya tetap percaya diri, karena merasa paling jelek. Masalahnya
saya ingat apa yang dikatakan produser waktu itu. “Kalau kepingin terkenal itu
gampang. Punya wajah cantik dan tampan sekali, atau sangat jelek sekali. Orang
biasa-biasa saja seperti saya ini malah sulit dikenal,” ia terkekeh. “ Wajah
kamu berkarakter dan jelek, ini unik. Jarang ada orang seperti kamu.”
Naluri saya betul, saya terpilih jadi pemain pembantu di
sebuah sinetron. Menurut mereka, akting saya cukup bagus dan cocok jadi bahan
tertawaan. Akting saya hanya diam, sambil sesekali tertawa memamerkan wajah
terjelek saya –yang memancing gelak tawa penonton-
Mulai besok saya akan tampil di sinetron kejar tayang. Singkat
cerita saja, tiga bulan mejeng di layar kaca, tawaran jadi bintang iklan, film
layar lebar dan beberapa live show mulai berdatangan. Lama-lama saya kebagian
peran utama juga. Sponsor mulai berdatangan. Stasiun televisi juga banyak yang
melirik saya.
Sebagai pendatang baru, saya cukup fenomenal. Karena uang saya
mulai bertambah, saya akhirnya pindah ke rumah kontrakan baru. Tapi ternyata,
sponsor saya menyediakan sebuah apartemen untuk tempat tinggal.
“Kamu memang sangat beruntung. Tidak banyak pendatang baru
yang bisa langsung sukses, bersyukurlah dengan wajah jelekmu itu. Ha ha ha,”
kata pak manajer (tak usah saya sebutkan nama).
Ia berkali-kali memberikan
pujian karena saya mendatangkan banyak uang untuknya. Karena saya begitu
terkenal, banyak wartawan yang mengekspos sisi kehidupan saya. Apalagi saya
tadinya seorang pemulung sebatang kara yang tak punya keluarga. Setelah saya
terkenal banyak sekali yang mengaku jadi saudara, bahkan orangtua saya (padahal
saya ini yatim piatu dari Panti Asuhan). Cewek-cewek pun banyak menggoda saya. Beberapa
bahkan mengaku hampir menikah dengan saya. Tiap hari ada yang menelepon dan
mengkonfirmasi info-info itu. Saya
ketawa saja. Pokoknya hal-hal yang tak terbayangkan mendekat, termasuk Pak
Burik. Mantan tetangga saya yang sangat ramah.
***
Begitu ceritanya, sampai suatu ketika Pak Burik mendatangi
saya dan memohon-mohon bantuan uang. Ia datang dengan pakaian dinasnya.
“Selama ini aku kan tetanggamu, aku anggap kamu sudah
seperti saudara sendiri Boy. Ingat nggak dulu kan kita sering ketemu di Bang
Somad,” katanya.
Saya tersenyum saja. “Mau minum kopi?”
Pak Burik menggelengkan kepala. Wajahnya masih terus
menatapku, berharap.
Saya akhirnya duduk saja, dan menatapnya dalam-dalam. “Apa
yang kamu mau Pak?”
“Ini serius Boy, aku minta tolong lah, sedikit saja, buat
makan sama bayar sekolah anak-anak.”
“Begitu saja?”
Pak Burik menghela nafas. “Tipi layar datar Boy, istriku itu
ribut minta tipi baru yang flat. Soalnya tipi kami yang lama udah rusak.”
Ini percakapan kami yang pertama setelah bertahun-tahun
bertetangga. Saya menghargai usahanya. Sebuah ide tiba-tiba melintas ke benak
saya.
“Pak Burik ambil saja semua yang saya punya di sini. Ajak
istri, Kiki dan Koko. Tivi layar datar ada di sini semua, tinggal tonton.
Sudah nyambung ke tivi kabel”
Pak Burik menatap saya bingung. Saya meringis melihat
wajahnya. Saya memintanya bertukar baju.
Beberapa menit kemudian pakaian pak
Burik sudah menempel di badan saya, lengkap dengan caping buluk untuk menengadah
recehan. Sementara Pak Burik memakai kaos dari sponsor, celana jeans dan jam
tangan saya yang mahal.
“Kamu mau kemana?”
Saya tak menjawab pertanyaan Pak Burik. Semua gadget dan
handphone saya non aktifkan, hanya sebuah kartu ATM yang saya bawa. Secarik
kertas berisi pesan saya tulis saja sekenanya untuk pak produser dan sponsor.
“Nanti kalau ada yang cari saya, bilang saja saya minggat.
Kasih ini kertas buat yang mencari saya.”
Saya menepuk bahu Pak Burik dan
mengucapkan salam perpisahan. “Terima kasih ya Pak Burik, Anda memang saudara
saya.” Setelah itu Pak Burik tertawa-tawa, ia berjingkrak girang dan berlarian
di apartemen saya seperti anak kecil. Saya pun berjingkrak dan berlarian lewat
tangga darurat apartemen. Saya cari ATM dan mengambil sisa tabungan saya.
Lembar jutaan rupiah itu saya masukkan saja di kantong kresek hitam, dan saya
bawa kemana-mana seperti membawa sekantong makanan. Beberapa lembar puluhan
saya kantongi di saku. Kadang uang-uang itu saya lempar saja seperti membuang
kertas sesuka saya. Ah nikmat sekali, ini baru namanya buang duit. Hahaha.
Beberapa hari setelah saya menghilang, saya justru makin
terkenal. Media televisi, cetak dan radio menggaung-gaungkan nama saya. Nama
Pak Burik juga berulangkali disebut sebagai pengganti saya main sinetron dan
film. Bang Somad dan beberapa warga kampung yang dulu saya huni juga sempat
melintas di surat kabar.
Muka jelek saya yang sedang tertawa itu jadi hiasan
dimana-mana. Makin hari saya makin dicari orang. Pernah ada seorang tunawisma
yang hampir mengenali saya. Besoknya, tunawisma itu langsung terkenal.
Lama
kelamaan, beberapa orang mengaku melihat saya di gang ini, di jembatan itu, di
toko ini dan itu. Saya ketawa ngakak saja. Tidak ada yang tahu saya sudah ada
di alam bebas, di tengah lautan. Dengan radio kecil yang saya tenteng
kemana-mana. Rambut dan jenggot saya memanjang dan tak ada seorang pun
mengenali saya. Badai lautan dan suara petir yang menggelegar sungguh
menyenangkan ketimbang lembaran uang yang saya terima dulu.
Lokasi laut tempat saya berada, tidak bisa saya ceritakan.
Pokoknya di tengah lautan. Kalau butuh air tawar saya merapat ke daratan.
Beberapa kadang belum ada penghuninya. Ah, saya kasihan pada Anda yang masih
saja mencari-cari saya. Kasihan betul.
Komentar
Posting Komentar