Cerpen : Soal Mas Al
Aku dulu, dulu sekali sangat sebal dengan kisah para gadis yang jatuh cinta pada bapak-bapak yang sudah beranak istri. Betapa bodoh dan edan para perempuan itu, sudah tahu kalau si pria adalah suami orang, kok bisa-bisanya cinta. Bahkan sampai ada yang mau diduakan demi cinta sama bapak-bapak yang beristri. Huek. Romantisme macam apa itu, tak berlogika sama sekali.
Apa mereka tidak berpikir, bahwa mereka adalah gadis? Mereka adalah perempuan yang masih punya banyak kesempatan jatuh cinta dengan lelaki bujang. Oke, setidaknya kalau kepingin cari yang sudah matang dan dewasa atau kelihatan tuek, banyak juga kan pria bujang beruban?
Aku sangat tidak bisa menoleransi para kaum hawa pecinta orangtua itu. Mengerikan. Memangnya, separah apa dunia sampai suka sama pria beristri? Perempuan itu punya banyak potensi untuk menghancurkan keluarga orang. Parahnya, banyak juga yang cerai hanya karena ada WIL. See? Gila kali mereka itu ya.
Pikiran itu kemudian mulai memudar saat aku banyak berinteraksi dengan seniorku. Meski aku hanya setingkat di bawahnya, kami seringkali mengobrol dan berdiskusi soal strategi dan ide-ide hangat yang akan diluncurkan untuk mendongkrak penjualan. Kami menjadi dua partner yang saling melengkapi. Ia banyak membahas soal kendala internal manajemen. Sementara aku memadukannya dengan permasalahan di lapangan, dengan para staf yang kukoordinir.
Mengobrol dengan ayah anak tiga ini sangat menyenangkan. Bahkan, terkadang kami sering lupa waktu. Ketertarikan itu kemudian muncul beberapa bulan lalu saat kami berbincang soal kendala masif perusahaan yang punya potensi krisis enam bulan ke depan. "Apapun bisa terjadi di sini. Kita harus siap itu. Permasalahannya adalah, mental staf harus lebih siap lagi. Kita ndak mungkin naif meski di atas mengkondisikan begitu. Kalau keadaannya betul terjadi. Byar, kocar-kacir semua. Padahal, seharusnya kita punya pijakan," ujarnya, serius. Sorot mata pria beristri ini tajam dan menusuk. Alisnya yang tipis dengan garis rahangnya yang keras membingkai wajahnya yang sekilas nampak konvensional. Meskipun begitu, dibalik kepalanya yang berambut cepak dan kacamata jadul yang ia pakai, pria yang masih berumur 35 tahun itu begitu menarik.
Mas Al, demikian aku memanggilnya. Hal-hal kecil tentangnya, terkadang tak pernah luput dari perhatianku. Secara tak sadar, aku nyaman dengan. segala hal tentangnya. Bermula dari ide segar dan beragam inovasi gila, bahan diskusi, kesukaan akan Jazzy music, hingga akhirnya rasa nyaman itu berkembang menjadi suka. Memandangi wajahnya lekat-lekat menjadi hobi yang membuatku sedikit senang. Apalagi jika melihatnya menggendong dan menimang anaknya. Ya ampun..seksi sekali. Aura kebapakan justru membuatku semakin terpikat, bukannya ilang feeling alias ilfil.
Lalu aku kembali terpikir soal para gadis yang suka dengan pria beristri. Haloo? Apakah aku menjadi satu diantara mereka sekarang? Oh tidak. Ini membahayakan. Aku hanya berpikir Mas Al seksi dan menarik. Hanya itu. Kenapa pikiranku jadi aneh-aneh?
Saat jam istirahat berdering di kantor, aku lebih memilih berada di depan PC dan 'kepo' jejaring sosial Mas Al. Di situ tertera jelas, bahwa ia telah menikah. Beberapa fotonya juga ia perlihatkan saat sedang mencium pipi anak-anaknya, Aria, Shasa, dan Dani. Eh, kok aku hafal nama anaknya?
Lalu saat kulihat ada jejaring sosial milik istri Mas Al, aku lalu mengkerut, minder. Look at her.. Dia begitu keibuan dan cantik. Lha aku? Aku cuma gadis yang tidak beruntung karena suka dengan suami orang.
Aku sangat resisten dengan perasaan ini pada awalnya. Aku gerah melihat diriku sendiri yang belum berpacar dan belum bersuami, malah suka dengan suami orang, astaga. Apakah ini bagian dari kurang bersyukur?
***
Hari ini, Mas Alto mengantarku pulang dengan motornya. Ini bukan yang pertama kali, hanya saja, kali ini lebih berkesan karena ia begitu perhatian padaku. Duh, aku hanya terkilir saat ikut lomba voli cup turnamen di kantor kemarin, ia sampai mengantarku. Tapi pikiran itu langsung kutepis jauh-jauh.
Kami menembus malam, berdua. Bau khasnya menyentuh hidungku. Knalpotnya mengaung, seperti hatiku yang meraung-raung. Tak ada lima menit, namun bersamanya waktu terasa terhenti. Aku tak mau berkomentar apapun saat dibonceng, lebih memilih diam dan mendengarkan ia menggumam.
"Hei. Lihat, kita difoto Dis!" Ia menunjuk segerombolan anak-anak mudah yang tengah bereksperimen dengan kamera, dan mengarahkannya ke jalan. Blitznya menyala, tepat saat kami lewat.
"Haha, iya Mas." Dalam hati, aku ingin meminta foto dari anak-anak itu. Hmm, setidaknya jika aku tak bisa memiliki Mas Al, aku masih bisa menyimpannya dalam memori. Aku masih bisa bersamanya dalam khayalan.
***
Malam di bulan berikutnya, acara gathering di kantor ramai. Masing masing karyawan membawa keluarga mereka, dan berpesta kebun di halaman kantor. Berhubung aku masih lajang, aku mengajak Gandhi, kakak kembarku. Kami lahir jeda lima menit dan wajah kami tidak identik. Ini adalah keberuntungan. Tak bisa kubayangkan punya saudara kembar identik laki-laki. Pasti akan sangat aneh.
Lalu kulihat Mas Al datang bersama istri dan anaknya. Istrinya mengenakan gaun panjang dipadu kerudung menutupi dada, teduh sekali. Aku begitu lama memperhatikan mereka hingga Mas Al juga menatapku balik.
Ya, pandangan kami sempat bertaut beberapa detik. Ia tersenyum di tengah kejengahanku, meringis dan tertawa bersama anak lelakinya.
Lalu Dani yang punya bau khas seperti bapaknya, mendekat dan sesekali menempel, bergelayut padaku. Sementara ibunya, dengan pandangan sayu menatapku. "Kita, belum pernah ketemu ya?"
Tentu saja belum.. Belum pernah sama sekali. Tapi aku sudah sering melihat wajahmu di facebook Mas Al. "Belum Mba, belum pernah ketemu," kataku.
"Oh, mbaknya kerja di sini juga?"
"Iya, saya kerja di sini," aku berusaha tetap tersenyum sementara di dadaku terasa pedih, seperti ada yang membakar. Lalu kusadari betapa lelah wajah perempuan itu. Jahatkah aku memendam rasa terhadap suaminya?
Mestinya aku tahu, aku akan tetap menjaga jarak. Semakin dekat dengan dia hanya akan membuatku semakin perih. Meski beberapa candaanku, yang kutahu, ia pasti bisa menerka. Bahwa aku punya rasa. Sebuah rasa yang berbeda. Bukan sekedar suka, tapi lebih dalam dari itu. Ini adalah hal yang.. Menyebalkan kukira.
"Sana, main sama tante Gadis sana Dan. Hei kamu ternyata udah pantes Dis bawa anak-anak," kata Mas Al. Aku tersenyum saja menatap Dani yang baru berusia lima tahun itu. Dani awalnya tak mau mendekat, akhirnya menggelayut manja. Ia mengajakku bermain, dan terus-terusan bertanya ini-itu. Kami berjalan-jalan, lalu saat kembali melewati Mas Al. Salah seorang teman berseloroh. "Kok nggak dibikinin adek lagi si Dani? Mungkin dia perlu adik, untuk temannya bermain."
"Bisa juga. Pertanyaannya, mau dibikinin adik dari siapa?" Kata Mas Al sambil menatapku. Semua teman-temannya pun juga menatapku. Duh. Siaal, kenapa aku jadi salah tingkah begini.
Akhirnya kukembalikan Dani pada Ibunya, dan aku mengajak kakakku, Gandhi ke kafe dekat kantor. Ia melirik sekilas pada istri Mas Al.
"Cantik, tapi sepertinya nggak terlalu smart," kata Gandhi.
"Hush!"
"Lihat saja. Daritadi ia misah sama suaminya. Nggak ikut gabung ngobrol bareng kolega dan relasi."
"Ya mereka kan bawa si bungsu. Wajar kalo harus ngawasi anak. Apalagi anaknya aktif banget gitu."
"Kamu bisa-bisanya sih, suka sama orang pendek, item, jelek begitu?"
Aduh. Mulai lagi. Gandhi memang paling ahli menebak siapa yang kusukai. Meski kami tidak identik. Ia seperti punya antena khusus yang bisa mengetahui apa yang kurasakan. Kali ini tebakannya begitu pas. Sambil menyeruput kopi, pandanganku menerawang.
"Aku tidak tahu. Tapi kurasa dia tahu. Dan aku akan tetap begini, menjaga jarak. Menjaga hati. Aku menghormati keluarganya," ujarku.
Gandhi menepuk nepuk kepalaku dan menghela nafas panjang.
"Bagus. Lupakan itu, banyak cowok lain yang lebih keren. Mungkin perasaanmu hanya emosi sesaat. Belajarlah untuk mengendalikannya." Ia mengunyah roti sambil beberapa kali mencuri pandang ke Mas Al. "Ia sepertinya pekerja keras. Lumayan. Kamu pasti sering ngobrol kelamaan sama dia. Itu yang bikin tambah suka. Kurangi aja," saran Gandhi.
"Kamu pasti juga pernah suka sama perempuan bersuami ya?"
Gandhi terdiam, matanya menatapku tajam. "Sudah. Sepupu kita sendiri."
"Hah?? Siapa? Mbak Dewi? Mbak Drupadi? Mbak Ifa?"
"Haha! Rahasia."
"Terus? Bagaimana kalian?"
"Aku sempat bilang soal perasaanku padanya. Dan ia hanya bilang, 'terima kasih sudah mencintai dan menghargai suamiku' sudah itu saja," kata Gandhi sambil tergelak.
Kupikir hanya aku yang aneh, mencintai pria beristri dan beranak tiga. Ternyata, cinta itu memang bisa bermekaran dimanapun. "Terus kalian sekarang gimana?"
"Biasa aja. Kami bertegur sapa kalau ketemu."
Tiba-tiba aku ingin menangis, teringat mantan pacarku yang hanya suka menghabiskan waktu di rumah. Teringat dia yang begitu menyayangiku, tapi tak pernah berusaha mendengarkanku. Teringat dia yang pernah aku cintai karena begitu dewasa. Tapi aku meninggalkannya karena pekerjaan membuatku tak punya waktu luang untuknya. Pekerjaan malah mendatangkan cinta baru yang tak mungkin kumiliki ; Mas Al.
"Aku ke toilet dulu Gan," ujarku. Gandhi mengangguk dan memberikan sebungkus rokok dan tisu. Dia memang kakak yang paling pengertian.
Aku menangis tanpa bersuara di dalam toilet sempit. Sebatang rokok masih menemani dengan khayalanku terbang jauh. Seandainya aku jadi istri kedua Mas Al, seperti apa mereka? Aku tak masalah tak diberi warisan. Aku juga tak apa jika tidak dinafkahi. Yang penting aku benar-benar bisa merasakan kehadiran Mas Al, belaiannya lembut yang merengkuhku dalam, senyum dan sorot mata yang menelanjangi... Sialan. Pikiran goblok ini terus saja menggerus logikaku. Sudahlah. Kupikir lebih baik pulang dan nonton DVD Korea bersama Gandhi. Setidaknya dia bisa mendengarkanku cerita, sebelum ia kembali ke Kalimantan.
Aku putuskan pulang. Air mata yang berlinang ku hapus dan kugantikan dengan make up baru yang lebih segar.
"Kita pulang saja yuk Gan," kataku saat tiba di kafe.
Gandhi meringis. "Sudah puas?"
"Hehe, sudah. Nonton DVD sambil makan popcorn kayaknya lebih asyik."
"Hahh.. Sepertinya tanpa Ayah dan Ibu, hari ini aku jadi baby sittermu. Oke, untuk persiapan kita beli tisu lagi Dis. Kamu pasti nangisnya tambah histeris kalau di rumah."
Kami melenggang keluar dari kafe dan melambaikan tangan ke beberapa teman kantor yang tengah mencicip sapi panggang.
Di mobil, Gandhi mengatakan sesuatu yang mengagetkan. Kembaranku yang tidak identik ini memang agak kurang ajar.
"Dia sudah pulang duluan tadi. Sebelum pulang ia mau membayari kita kopi. Tapi nggak jadi karena sudah kubayar. 'Anda pacarnya?' Dia nanya begitu."
"Lalu kamu bilang apa Gan?"
"Kubilang 'Bukan, saya suaminya'."
"Hah??? Gila gila gila!"
"Hahahaha! Dia nggak percaya dan agak kaget. 'Oh. Kukira Gadis belum menikah. Kalau begitu saya duluan. Anak saya agak rewel hari ini'. Kamu harus lihat mukanya saat aku bilang aku suamimu. Sumpah, langsung salting beraaat!"
Aku menonjok bahu Gandhi. Kami tertawa sepanjang jalan hingga ke rumah. "Dasar bodoh, langsung percaya. Hahahaa!"
Diam-diam aku senang. Kalau dia kaget aku sudah punya suami, mungkin ada kemungkinan Mas Al punya rasa juga? Ups. Entahlah!
***
Apa mereka tidak berpikir, bahwa mereka adalah gadis? Mereka adalah perempuan yang masih punya banyak kesempatan jatuh cinta dengan lelaki bujang. Oke, setidaknya kalau kepingin cari yang sudah matang dan dewasa atau kelihatan tuek, banyak juga kan pria bujang beruban?
Aku sangat tidak bisa menoleransi para kaum hawa pecinta orangtua itu. Mengerikan. Memangnya, separah apa dunia sampai suka sama pria beristri? Perempuan itu punya banyak potensi untuk menghancurkan keluarga orang. Parahnya, banyak juga yang cerai hanya karena ada WIL. See? Gila kali mereka itu ya.
Pikiran itu kemudian mulai memudar saat aku banyak berinteraksi dengan seniorku. Meski aku hanya setingkat di bawahnya, kami seringkali mengobrol dan berdiskusi soal strategi dan ide-ide hangat yang akan diluncurkan untuk mendongkrak penjualan. Kami menjadi dua partner yang saling melengkapi. Ia banyak membahas soal kendala internal manajemen. Sementara aku memadukannya dengan permasalahan di lapangan, dengan para staf yang kukoordinir.
Mengobrol dengan ayah anak tiga ini sangat menyenangkan. Bahkan, terkadang kami sering lupa waktu. Ketertarikan itu kemudian muncul beberapa bulan lalu saat kami berbincang soal kendala masif perusahaan yang punya potensi krisis enam bulan ke depan. "Apapun bisa terjadi di sini. Kita harus siap itu. Permasalahannya adalah, mental staf harus lebih siap lagi. Kita ndak mungkin naif meski di atas mengkondisikan begitu. Kalau keadaannya betul terjadi. Byar, kocar-kacir semua. Padahal, seharusnya kita punya pijakan," ujarnya, serius. Sorot mata pria beristri ini tajam dan menusuk. Alisnya yang tipis dengan garis rahangnya yang keras membingkai wajahnya yang sekilas nampak konvensional. Meskipun begitu, dibalik kepalanya yang berambut cepak dan kacamata jadul yang ia pakai, pria yang masih berumur 35 tahun itu begitu menarik.
Mas Al, demikian aku memanggilnya. Hal-hal kecil tentangnya, terkadang tak pernah luput dari perhatianku. Secara tak sadar, aku nyaman dengan. segala hal tentangnya. Bermula dari ide segar dan beragam inovasi gila, bahan diskusi, kesukaan akan Jazzy music, hingga akhirnya rasa nyaman itu berkembang menjadi suka. Memandangi wajahnya lekat-lekat menjadi hobi yang membuatku sedikit senang. Apalagi jika melihatnya menggendong dan menimang anaknya. Ya ampun..seksi sekali. Aura kebapakan justru membuatku semakin terpikat, bukannya ilang feeling alias ilfil.
Lalu aku kembali terpikir soal para gadis yang suka dengan pria beristri. Haloo? Apakah aku menjadi satu diantara mereka sekarang? Oh tidak. Ini membahayakan. Aku hanya berpikir Mas Al seksi dan menarik. Hanya itu. Kenapa pikiranku jadi aneh-aneh?
Saat jam istirahat berdering di kantor, aku lebih memilih berada di depan PC dan 'kepo' jejaring sosial Mas Al. Di situ tertera jelas, bahwa ia telah menikah. Beberapa fotonya juga ia perlihatkan saat sedang mencium pipi anak-anaknya, Aria, Shasa, dan Dani. Eh, kok aku hafal nama anaknya?
Lalu saat kulihat ada jejaring sosial milik istri Mas Al, aku lalu mengkerut, minder. Look at her.. Dia begitu keibuan dan cantik. Lha aku? Aku cuma gadis yang tidak beruntung karena suka dengan suami orang.
Aku sangat resisten dengan perasaan ini pada awalnya. Aku gerah melihat diriku sendiri yang belum berpacar dan belum bersuami, malah suka dengan suami orang, astaga. Apakah ini bagian dari kurang bersyukur?
***
Hari ini, Mas Alto mengantarku pulang dengan motornya. Ini bukan yang pertama kali, hanya saja, kali ini lebih berkesan karena ia begitu perhatian padaku. Duh, aku hanya terkilir saat ikut lomba voli cup turnamen di kantor kemarin, ia sampai mengantarku. Tapi pikiran itu langsung kutepis jauh-jauh.
Kami menembus malam, berdua. Bau khasnya menyentuh hidungku. Knalpotnya mengaung, seperti hatiku yang meraung-raung. Tak ada lima menit, namun bersamanya waktu terasa terhenti. Aku tak mau berkomentar apapun saat dibonceng, lebih memilih diam dan mendengarkan ia menggumam.
"Hei. Lihat, kita difoto Dis!" Ia menunjuk segerombolan anak-anak mudah yang tengah bereksperimen dengan kamera, dan mengarahkannya ke jalan. Blitznya menyala, tepat saat kami lewat.
"Haha, iya Mas." Dalam hati, aku ingin meminta foto dari anak-anak itu. Hmm, setidaknya jika aku tak bisa memiliki Mas Al, aku masih bisa menyimpannya dalam memori. Aku masih bisa bersamanya dalam khayalan.
***
Malam di bulan berikutnya, acara gathering di kantor ramai. Masing masing karyawan membawa keluarga mereka, dan berpesta kebun di halaman kantor. Berhubung aku masih lajang, aku mengajak Gandhi, kakak kembarku. Kami lahir jeda lima menit dan wajah kami tidak identik. Ini adalah keberuntungan. Tak bisa kubayangkan punya saudara kembar identik laki-laki. Pasti akan sangat aneh.
Lalu kulihat Mas Al datang bersama istri dan anaknya. Istrinya mengenakan gaun panjang dipadu kerudung menutupi dada, teduh sekali. Aku begitu lama memperhatikan mereka hingga Mas Al juga menatapku balik.
Ya, pandangan kami sempat bertaut beberapa detik. Ia tersenyum di tengah kejengahanku, meringis dan tertawa bersama anak lelakinya.
Lalu Dani yang punya bau khas seperti bapaknya, mendekat dan sesekali menempel, bergelayut padaku. Sementara ibunya, dengan pandangan sayu menatapku. "Kita, belum pernah ketemu ya?"
Tentu saja belum.. Belum pernah sama sekali. Tapi aku sudah sering melihat wajahmu di facebook Mas Al. "Belum Mba, belum pernah ketemu," kataku.
"Oh, mbaknya kerja di sini juga?"
"Iya, saya kerja di sini," aku berusaha tetap tersenyum sementara di dadaku terasa pedih, seperti ada yang membakar. Lalu kusadari betapa lelah wajah perempuan itu. Jahatkah aku memendam rasa terhadap suaminya?
Mestinya aku tahu, aku akan tetap menjaga jarak. Semakin dekat dengan dia hanya akan membuatku semakin perih. Meski beberapa candaanku, yang kutahu, ia pasti bisa menerka. Bahwa aku punya rasa. Sebuah rasa yang berbeda. Bukan sekedar suka, tapi lebih dalam dari itu. Ini adalah hal yang.. Menyebalkan kukira.
"Sana, main sama tante Gadis sana Dan. Hei kamu ternyata udah pantes Dis bawa anak-anak," kata Mas Al. Aku tersenyum saja menatap Dani yang baru berusia lima tahun itu. Dani awalnya tak mau mendekat, akhirnya menggelayut manja. Ia mengajakku bermain, dan terus-terusan bertanya ini-itu. Kami berjalan-jalan, lalu saat kembali melewati Mas Al. Salah seorang teman berseloroh. "Kok nggak dibikinin adek lagi si Dani? Mungkin dia perlu adik, untuk temannya bermain."
"Bisa juga. Pertanyaannya, mau dibikinin adik dari siapa?" Kata Mas Al sambil menatapku. Semua teman-temannya pun juga menatapku. Duh. Siaal, kenapa aku jadi salah tingkah begini.
Akhirnya kukembalikan Dani pada Ibunya, dan aku mengajak kakakku, Gandhi ke kafe dekat kantor. Ia melirik sekilas pada istri Mas Al.
"Cantik, tapi sepertinya nggak terlalu smart," kata Gandhi.
"Hush!"
"Lihat saja. Daritadi ia misah sama suaminya. Nggak ikut gabung ngobrol bareng kolega dan relasi."
"Ya mereka kan bawa si bungsu. Wajar kalo harus ngawasi anak. Apalagi anaknya aktif banget gitu."
"Kamu bisa-bisanya sih, suka sama orang pendek, item, jelek begitu?"
Aduh. Mulai lagi. Gandhi memang paling ahli menebak siapa yang kusukai. Meski kami tidak identik. Ia seperti punya antena khusus yang bisa mengetahui apa yang kurasakan. Kali ini tebakannya begitu pas. Sambil menyeruput kopi, pandanganku menerawang.
"Aku tidak tahu. Tapi kurasa dia tahu. Dan aku akan tetap begini, menjaga jarak. Menjaga hati. Aku menghormati keluarganya," ujarku.
Gandhi menepuk nepuk kepalaku dan menghela nafas panjang.
"Bagus. Lupakan itu, banyak cowok lain yang lebih keren. Mungkin perasaanmu hanya emosi sesaat. Belajarlah untuk mengendalikannya." Ia mengunyah roti sambil beberapa kali mencuri pandang ke Mas Al. "Ia sepertinya pekerja keras. Lumayan. Kamu pasti sering ngobrol kelamaan sama dia. Itu yang bikin tambah suka. Kurangi aja," saran Gandhi.
"Kamu pasti juga pernah suka sama perempuan bersuami ya?"
Gandhi terdiam, matanya menatapku tajam. "Sudah. Sepupu kita sendiri."
"Hah?? Siapa? Mbak Dewi? Mbak Drupadi? Mbak Ifa?"
"Haha! Rahasia."
"Terus? Bagaimana kalian?"
"Aku sempat bilang soal perasaanku padanya. Dan ia hanya bilang, 'terima kasih sudah mencintai dan menghargai suamiku' sudah itu saja," kata Gandhi sambil tergelak.
Kupikir hanya aku yang aneh, mencintai pria beristri dan beranak tiga. Ternyata, cinta itu memang bisa bermekaran dimanapun. "Terus kalian sekarang gimana?"
"Biasa aja. Kami bertegur sapa kalau ketemu."
Tiba-tiba aku ingin menangis, teringat mantan pacarku yang hanya suka menghabiskan waktu di rumah. Teringat dia yang begitu menyayangiku, tapi tak pernah berusaha mendengarkanku. Teringat dia yang pernah aku cintai karena begitu dewasa. Tapi aku meninggalkannya karena pekerjaan membuatku tak punya waktu luang untuknya. Pekerjaan malah mendatangkan cinta baru yang tak mungkin kumiliki ; Mas Al.
"Aku ke toilet dulu Gan," ujarku. Gandhi mengangguk dan memberikan sebungkus rokok dan tisu. Dia memang kakak yang paling pengertian.
Aku menangis tanpa bersuara di dalam toilet sempit. Sebatang rokok masih menemani dengan khayalanku terbang jauh. Seandainya aku jadi istri kedua Mas Al, seperti apa mereka? Aku tak masalah tak diberi warisan. Aku juga tak apa jika tidak dinafkahi. Yang penting aku benar-benar bisa merasakan kehadiran Mas Al, belaiannya lembut yang merengkuhku dalam, senyum dan sorot mata yang menelanjangi... Sialan. Pikiran goblok ini terus saja menggerus logikaku. Sudahlah. Kupikir lebih baik pulang dan nonton DVD Korea bersama Gandhi. Setidaknya dia bisa mendengarkanku cerita, sebelum ia kembali ke Kalimantan.
Aku putuskan pulang. Air mata yang berlinang ku hapus dan kugantikan dengan make up baru yang lebih segar.
"Kita pulang saja yuk Gan," kataku saat tiba di kafe.
Gandhi meringis. "Sudah puas?"
"Hehe, sudah. Nonton DVD sambil makan popcorn kayaknya lebih asyik."
"Hahh.. Sepertinya tanpa Ayah dan Ibu, hari ini aku jadi baby sittermu. Oke, untuk persiapan kita beli tisu lagi Dis. Kamu pasti nangisnya tambah histeris kalau di rumah."
Kami melenggang keluar dari kafe dan melambaikan tangan ke beberapa teman kantor yang tengah mencicip sapi panggang.
Di mobil, Gandhi mengatakan sesuatu yang mengagetkan. Kembaranku yang tidak identik ini memang agak kurang ajar.
"Dia sudah pulang duluan tadi. Sebelum pulang ia mau membayari kita kopi. Tapi nggak jadi karena sudah kubayar. 'Anda pacarnya?' Dia nanya begitu."
"Lalu kamu bilang apa Gan?"
"Kubilang 'Bukan, saya suaminya'."
"Hah??? Gila gila gila!"
"Hahahaha! Dia nggak percaya dan agak kaget. 'Oh. Kukira Gadis belum menikah. Kalau begitu saya duluan. Anak saya agak rewel hari ini'. Kamu harus lihat mukanya saat aku bilang aku suamimu. Sumpah, langsung salting beraaat!"
Aku menonjok bahu Gandhi. Kami tertawa sepanjang jalan hingga ke rumah. "Dasar bodoh, langsung percaya. Hahahaa!"
Diam-diam aku senang. Kalau dia kaget aku sudah punya suami, mungkin ada kemungkinan Mas Al punya rasa juga? Ups. Entahlah!
***
Komentar
Posting Komentar