Soal E-Commerce Part 5
Masih soal Kejahatan E-Commerce
Masih banyak yang menganggap kejahatan E-Commerce adalah hal yang biasa, entah karena tidak begitu memusingkan kerugian atau karena tak mengerti jika pelaku kejahatan ini bisa mendapatkan sanksi hukum.
Padahal, kejahatan e-commerce (yang sering dikenal cyber crime) ini memiliki kecenderungan kenaikan dalam setiap tahunnya. Apalagi dengan ditambah dunia internet yang makin mengglobal. Akses internet yang mudah membuat jarak bukan lagi halangan. Apalagi sekedar sistem yang dibajak atau dipalsu.
Menurut riset yang dilakukan perusahaan Security Clear Commerce yang berbasis di Texas, menyatakan Indonesia berada di urutan kedua setelah Ukraina (Shintia Dian Arwida. 2002).
Cyber Squalling, yang dapat diartikan sebagai mendapatkan, memperjualbelikan, atau menggunakan suatu nama domain dengan itikad tidak baik atau jelek.
Di Indonesia kasus ini pernah terjadi antara PT. Mustika Ratu dan Tjandra, pihak yang mendaftarkan nama domain tersebut (Iman Sjahputra, 2002:151-152).
Satu lagi kasus yang berkaitan dengan cybercrime di Indonesia, kasus tersebut diputus di Pengadilan Negeri Sleman dengan Terdakwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok. Dalam kasus tersebut, terdakwa didakwa melakukan Cybercrime. Dalam amar putusannya Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok telah membobol kartu kredit milik warga Amerika Serikat, hasil kejahatannya digunakan untuk membeli barang-barang seperti helm dan sarung tangan merk AGV. Total harga barang yang dibelinya mencapai Rp. 4.000.000,- (Pikiran Rakyat, 31 Agustus 2002).
Namun, beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan cybercrime dalam kejahatan bisnis jarang yang sampai ke meja hijau, hal ini dikarenakan masih terjadi perdebatan tentang regulasi yang berkaitan dengan kejahatan tersebut. Terlebih mengenai UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronika yang sampai dengan hari ini walaupun telah disahkan pada tanggal 21 April 2008 belum dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk sebagai penjelasan dan pelengkap terhadap pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
Cyber Squalling, yang dapat diartikan sebagai mendapatkan, memperjualbelikan, atau menggunakan suatu nama domain dengan itikad tidak baik atau jelek.
Di Indonesia kasus ini pernah terjadi antara PT. Mustika Ratu dan Tjandra, pihak yang mendaftarkan nama domain tersebut (Iman Sjahputra, 2002:151-152).
Satu lagi kasus yang berkaitan dengan cybercrime di Indonesia, kasus tersebut diputus di Pengadilan Negeri Sleman dengan Terdakwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok. Dalam kasus tersebut, terdakwa didakwa melakukan Cybercrime. Dalam amar putusannya Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok telah membobol kartu kredit milik warga Amerika Serikat, hasil kejahatannya digunakan untuk membeli barang-barang seperti helm dan sarung tangan merk AGV. Total harga barang yang dibelinya mencapai Rp. 4.000.000,- (Pikiran Rakyat, 31 Agustus 2002).
Namun, beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan cybercrime dalam kejahatan bisnis jarang yang sampai ke meja hijau, hal ini dikarenakan masih terjadi perdebatan tentang regulasi yang berkaitan dengan kejahatan tersebut. Terlebih mengenai UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronika yang sampai dengan hari ini walaupun telah disahkan pada tanggal 21 April 2008 belum dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk sebagai penjelasan dan pelengkap terhadap pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
Dalam beberapa dekade terakhir ini, banyak pemalsuan (forgery) surat-surat dan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan bisnis. Pemalsuan surat itu telah merusak iklim bisnis di Indonesia.
Dalam KUH Pidana memang telah terdapat Bab khusus yaitu Bab XII yang mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan pemalsuan surat, tetapi ketentuan-ketentuan tersebut sifatnya masih sangat umum. Pada saat ini surat-surat dan dokumen-dokumen yang dipalsukan itu dapat berupa electronic document yang dikirimkan atau yang disimpan di electronic files institusi pemerintah, perusahaan, atau perorangan.
Seharusnya Indonesia memiliki pidana khusus yang berkenaan dengan pemalsuan surat atau dokumen dengan membedakan jenis surat atau dokumen pemalsuan, yang merupakan lex specialist di luar KUH Pidana.
Pasalnya, di Indonesia pernah terjadi kasus cybercrime yang berkaitan dengan kejahatan bisnis.
Tahun 2000 beberapa situs atau web Indonesia diacak-acak oleh cracker yang menamakan dirinya Fabianclone dan naisenodni. Situs tersebut adalah antara lain milik BCA, Bursa Efek Jakarta dan Indosatnet (Agus Raharjo, 2002.37).
Selanjutnya pada bulan September dan Oktober 2000, seorang craker dengan julukan fabianclone berhasil menjebol web milik Bank Bali. Bank ini memberikan layanan internet banking pada nasabahnya. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan mengakibatkan terputusnya layanan nasabah (Agus Raharjo 2002:38).
Kejahatan lainnya yang dikategorikan sebagai cybercrime dalam kejahatan bisnis adalah Cyber Fraud, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan melakukan penipuan lewat internet. Diantaranya dengan melakukan kejahatan lebih dulu yaitu mencuri nomor kartu kredit orang lain dengan meng-hack atau membobol situs pada internet.
Herannya, korban yang dirugikan jarang melapor dan menikmati derita 'penipuan' dari cyber crime, atau bahkan menganggapnya seperti angin lalu.
sumber :https://balianzahab.wordpress.com/artikel/sekilas-kejahatan-e-commerce-di-indonesia/
Dalam KUH Pidana memang telah terdapat Bab khusus yaitu Bab XII yang mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan pemalsuan surat, tetapi ketentuan-ketentuan tersebut sifatnya masih sangat umum. Pada saat ini surat-surat dan dokumen-dokumen yang dipalsukan itu dapat berupa electronic document yang dikirimkan atau yang disimpan di electronic files institusi pemerintah, perusahaan, atau perorangan.
Seharusnya Indonesia memiliki pidana khusus yang berkenaan dengan pemalsuan surat atau dokumen dengan membedakan jenis surat atau dokumen pemalsuan, yang merupakan lex specialist di luar KUH Pidana.
Pasalnya, di Indonesia pernah terjadi kasus cybercrime yang berkaitan dengan kejahatan bisnis.
Tahun 2000 beberapa situs atau web Indonesia diacak-acak oleh cracker yang menamakan dirinya Fabianclone dan naisenodni. Situs tersebut adalah antara lain milik BCA, Bursa Efek Jakarta dan Indosatnet (Agus Raharjo, 2002.37).
Selanjutnya pada bulan September dan Oktober 2000, seorang craker dengan julukan fabianclone berhasil menjebol web milik Bank Bali. Bank ini memberikan layanan internet banking pada nasabahnya. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan mengakibatkan terputusnya layanan nasabah (Agus Raharjo 2002:38).
Kejahatan lainnya yang dikategorikan sebagai cybercrime dalam kejahatan bisnis adalah Cyber Fraud, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan melakukan penipuan lewat internet. Diantaranya dengan melakukan kejahatan lebih dulu yaitu mencuri nomor kartu kredit orang lain dengan meng-hack atau membobol situs pada internet.
Herannya, korban yang dirugikan jarang melapor dan menikmati derita 'penipuan' dari cyber crime, atau bahkan menganggapnya seperti angin lalu.
sumber :https://balianzahab.wordpress.com/artikel/sekilas-kejahatan-e-commerce-di-indonesia/
Komentar
Posting Komentar